Kamis, 29 Oktober 2009

Filsafat Iqbal dan Al-Qur'an

S.A. Vahid, orang yang memiliki otoritas dalam penulisan biografi Iqbal, mengatakan, bahwa iqbal telah meninggalkan catatan-catatan yang tidak sedikit memungkinkan kita untuk melacak, bahwa hubungan filsafatnya dengan Qur'an erat sekali (1948: 86). Demikian juga pendapat para pengamat dan penulis lain tentang Iqbal. Dengan menolak ajaran penebusan dosa, Qur'an mengakui adanya peran pribadi.

"hati-hatilah kamu sekalian pada suatu hari, manakala tak seorang pun dapat menebus dosa orang lain, sedikit sekalipun. tiada pula ada pengganti atau perantara. Dan tidak ada pertolongan dari luar." (al-Baqarah [2]: 48)

Ini berarti yang ada hanyalah ego manusia. Maka ego atau pribadi harus diperkuat. Lebih lanjut Qur'an menegaskan, bahwa seseorang tak dapat memikul tanggung jawab orang lain.

"Setiap orang hanya mengerjakan apa yang dapat dipertanggungjawabkannya. Seseorang takkan memikul beban orang lain." (al-An'am [6]:164)

Dan ini merupakan konsekuensi atas tantangan manusia sendiri yang bersedia memikul beban itu.

"Kami telah menawarkan amanat ini kepada langit, kepada bumi, dan kepada gunung-gunung. Tetapi semua enggan menerimanya, sebab takut akibatnya. Lalu manusialah yang bersedia memikulnya. Manusia itu zalim dan bodoh sekali." (al-Ahzab [33]:72)

Mengenai kebebasan yang doperoleh ego manusia, Qur'an mengakui bahwa ego itu merupakan sebab-akibat kebebasan pribadinya, dan Tuhan membiarkannya berinisiatif sendiri dalam batas-batas tertentu.

"Katakanlah, kebenaran itu dari Tuhanmu. Barang siapa suka, biarkanlah ia beriman. Dan yang tidak suka, biarkanlah ia ingkar." (al-Kahf [18]:29)

Adanya ketentuan shalat sehari-hari juga berarti sebagai sarana ego otu melepaskan diri dari mekanisme kepada kebebasan. Dengan memahamid an dapat menguasai lingkungan, ego itu memperoleh dan memperkuat kebebasannya, yang berarti pula alam semesta pun dapat dikuasai manusia yang dapat mempertahankan kebebasan pribadinya (Lukman [31]:20). Beberapa contoh sejarah diberikan dalam al-Qur'an tentang kebaikan dan kejahatan, dan pintu ke arah itu sama terbukanya bagi manusia. (asy-Syams [91]:7-10).

Sudah tentu tidak mungkin saya menguraikan filsafat dan sikap hidup penyair ini dengan mengemukakan semua kutipan dari Qur'an  ---dalam uraian singkat semacam ini: mengenai keluarga, negara, pendidikan dan sebagainya. Tokoh-tokoh seperti Abdullah Yusuf Ali, penulis tafsir Qur'an terkenal, Ali Nadwi uama India kenamaan dan S.A. Vahid, orang yang paling dalam menekuni penulisan biografinya, menyebutkan, bahwa guru utama yang telah membentuk pribadi dan pikiran Iqbal ialah Qur'an. Yang demikian ini dikatakan juga oleh tokoh-tokoh sastra dan pemikir terkemuka di Mesir. Abdurrahman Azzam, Husain Haekal, Taha Hsein ataupun Hasan Zayyad dan lainnya.

Cara Iqbal membaca Qur'an mungkin berbeda dengan cara orang lain membacanya. Penyair itu bercerita sendiri begini:

"Saya biasa membaca Qur'an setiap hari lepas shalat subuh, dan ayah selalu mengawasi, kemudian menanyakan: Apa yang kau lakukan? Saya jawab bahwa saya membaca Qur'an. Pertanyaan semacam itu terus-menerus diulang setiap hari, selama tiga tahun, dan jawaban saya pun tetap yang itu juga. Pada suatu hari saya bertanya pada beliau, kenapa ayah selalu bertanya denga pertanyaan yang sama pdahal jawaban saya juga sama? Yang ingin kukatakan kepadamu, nak, kata ayah, bacalah Qur'an itu seolah diturunkan kepadamu. Sejak hari itu saya mulai membaca Qur'an dengan berusaha mendalami isinya. Dari cahayanya itulah aku mendapat penyuluhan dan dari butir-butir hikmahnya aku menyusun puisiku."

Sampai akhir hayatnya penyair ini tetap tekun mempelajari dan mendalami isi Qur'an, sebab dirasakannya selalu ia menemukan hal-hal baru untuk pemikiran dan rasa seninya, dan sekaligus menanamkan keimanan yang lebih kuat. Ia makin yakin bahwa Qur'an merpakan mukjizat Rasulullah saw. yang terbesar. Kitab yang abadi, sumber dan kunci rohani dan pikiran yang tak terhingga luasnya. Ia mengajak kaum Muslimin dan yang lain untuk merenungkan isi kitab ajaib ini, mempelajari dan memahami kandungannya sedalam mungkin, karena dari situ akan terbuka cakrawala baru dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup untuk kemudian mengambil jawaban yang pasti. Ia sangat menyesalkan sikap sebagian kaum Muslimin yang menjauhi Qur'an dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dalam sebuah sajaknya ia mengatakan, bahwa ...kaum muslimin masih dibelenggu oleh mereka yang mendakwakan diri sebagai pemimpin ulama, merasa dirinya punya supremasi dalam ilmu dan sebagai intelektual, tetapi dalam kenyataannya tidak mau mempercayakan hidupnya pada tuntutan Qur'an. Qur'an yang menjadi sumber hidup dan kekuatan rohani sama sekali tak ada hubungannya dengan kita, kecuali bila orang sedang dalam sekarat atau sudah mati, lalu dibacakan surah Ya Sin supaya kita mati dengan tenang. Sungguh aneh, kitab yang diturunkan untuk memberi hidup dan kekatan, malah sekarang dibaca supaya orang mati dengan tenang dan tenteram...!!!!

Dikutip dari Ali Audah (Dari khazanah Dunia Islam): Iqbal, Qur'an dan sastera keislaman. hlm: 121-123

Jumat, 18 September 2009

Dakwah di Sela-sela Waktu Berdagang

Dalam sejarah perkembangan Islam, tercatat bawasannya Islam berkembang secara pesat dengan cara dakwah melalui jalur perdagangan. Orang-orang Islam zaman dahulu mayoritas adalah para pedagang yang suka menyeberang lintas pulau dan lintas teroterial negara mereka. Di sela-sela aktifitas itulah mereka melakukan dakwah, menyebarkan ajaran Islam kepada segenap manusia yang dijumpainya. Wal hasil, dengan kebiasaan orang arab seperti itu, Islam mengalami perkembangan dan perluasan wilayah tanpa batas dengan begitu cepatnya.

Orang Islam sekarang sebetulnya sudah pada tahu akan catatan sejarah ini. Namun sayang, mereka sekarang seolah tidak perduli lagi dengan sistem dakwah semisal itu. Terutama di Indonesia, Hanya sedikit dari mereka yang masih menjalankan usaha berdagang sambil mendakwahkan ajaran-ajaran Islam. Apakah ini terikat imbas era globalisasi dan komputerisasi yang semakin berkembang dan tidak dapat diikuti perkembangannya oleh ummat Islam sendiri? Mungkin saja. Namun yang jelas kondisi seperti ini sebetulnya masih dapat kita atasi. Di Indonesia, usaha perdagangan dengan sistem manual atau tradisional yang dikerjakan oleh ummat Islam masih banyak dilakukan, dan masih banyak celah untuk melakukan usaha itu.

Lantas apa kendalanya sehingga kita tidak tidak lagi secara gencar melakukan kegiatan dakwah di sela-sela waktu berdagang. menurut kami ada beberapa faktor yang bisa mempengaruhi hal itu. Pertama, bisa jadi karena umat islam sudah tidak perduli lagi dengan kondisi yang dialami oleh agamanya (na'udzu billahi min dzalik!). Kedua, karena memang Umat Islam tidak tahu kegiatan dakwah apa saja yang bisa dilakukan saat berjual beli atau berdagang. Ketiga,  adanya wacana yang berkembang kalau orang yang tidak tahu banyak tentang ajaran Islam tidak boleh berdakwah, dan faktor keempat, bisa jadi banyak umat Islam yang sudah tidak tertarik lagi dalam usaha berdagang tersebut.


Timbulnya faktor pertama dan kedua bisa jadi karena Ummat Islam sekarang meyakini kalau usaha dakwah adalah miliknya para Ustadz, para kiyai, atau para ulama saja, sehingga mereka tidak memiliki rasa  terpanggil lagi untuk melakukan itu. Dan itu tentu membutuhkan usaha para penggerak dakwah untuk melakukan pelurusan pola pikir secara berkelanjutan terhadap Umat Islam secara luas.

Untuk kesempatan kali ini, mudah-mudahan Umat Islam tidak melakukan kegiatan dakwah di jalur perdagangan itu karena faktor kedua, sebab jika karena faktor itu saja penyebabnya, secara sederhana penulis bisa sedikit memberi masukan di tulisan ini.

Keutamaan Ma'isyah (Usaha) Jual Beli atau Perdagangan Dalam Islam

Kondisi Pasar sehingga menjadi tempat strategis untuk berdakwah

langkah-langkah Dakwah yang Dapat Dilakukan Oleh Para Pelaku Dagang atau Jual Beli


 
© Copyright by Dunia Islam  |  Template by Blogspot tutorial